BACAHUKUM, JAMBI – Kasus dugaan kerugian negara yang melibatkan PT. Hutan Alam Lestari (PT. HAL) kembali mencuat ke publik. Ketua Gerakan Terpadu Anti Korupsi, Abdurrahman Sayuti, mengungkapkan bahwa perusahaan ini diduga merugikan negara sebesar Rp233 miliar. Dugaan ini terkait dengan penggunaan pinjaman modal kerja dari Bank Mandiri Pusat Jakarta untuk pembangunan kebun dan pabrik kelapa sawit yang dinilai tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pinjaman dengan Jaminan HGU yang Terbengkalai
PT. HAL mendapatkan pinjaman modal kerja dari Bank Mandiri dengan menjaminkan lima Hak Guna Usaha (HGU) dengan total luas mencapai 937,67 hektar. Berikut rincian HGU yang dijaminkan:
- HGU No. 91 Tahun 2016 – Luas 630,29 hektar
- HGU No. 90 Tahun 2016 – Luas 102,04 hektar
- HGU Baru Tahun 2022 – Luas 97,14 hektar
- HGU Baru Tahun 2022 – Luas 65,16 hektar
- HGU Baru Tahun 2022 – Luas 43,04 hektar
Namun, sebagian besar lahan dengan HGU tersebut tidak dikelola dengan baik sejak tahun 2016. Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 2 November 2023 menetapkan bahwa lahan ini tergolong sebagai tanah terlantar.
Dari total luas 937,67 hektar, hanya sekitar 500 hektar yang produktif dan ditanami kelapa sawit. Sisanya, sekitar 437,67 hektar, dibiarkan terlantar sehingga berpotensi menimbulkan konflik sengketa dengan masyarakat sekitar.
Sertifikat Hak Milik di Luar HGU
Selain HGU, PT. HAL juga memiliki tanah yang telah diubah statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan luas sekitar 250 hektar. SHM ini didaftarkan atas nama direktur utama, komisaris, serta keluarga dan karyawan perusahaan yang berdomisili di Jakarta. Dari total luas tersebut, hanya sekitar 100 hektar yang produktif dengan tanaman kelapa sawit.
Secara keseluruhan, PT. HAL mengelola lahan seluas 1.200 hektar, baik dalam bentuk HGU maupun SHM. Namun, hanya sekitar 600 hektar yang telah ditanami kelapa sawit dan menghasilkan produksi, sementara sisanya menjadi lahan terlantar.
Indikasi Kredit Macet dan Restrukturisasi yang Tertunda
Abdurrahman Sayuti juga mengungkapkan bahwa pinjaman modal kerja yang diperoleh PT. HAL dari Bank Mandiri telah menunjukkan indikasi menjadi kredit macet sejak tahun 2020 dan telah tercatat dalam kategori col 5. PT. HAL disebut telah beberapa kali mengajukan restrukturisasi kredit, tetapi hingga kini belum mendapatkan persetujuan dari pihak bank.
“Pihak Bank Mandiri harus transparan dan kooperatif dalam memberikan informasi, data, dan dokumen terkait pinjaman ini. Hal ini penting untuk menyelamatkan keuangan negara dari kerugian yang lebih besar,” ujar Abdurrahman Sayuti.
Harapan untuk Transparansi dan Tindakan Tegas
Ketua Gerakan Terpadu Anti Korupsi berharap kasus ini segera ditangani dengan serius. Abdurrahman meminta pihak berwenang, termasuk Bank Mandiri dan Kementerian ATR/BPN, untuk menyelidiki secara menyeluruh penyalahgunaan dana pinjaman modal kerja yang diduga menyebabkan kerugian negara.
“Kasus ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat sekitar yang terlibat dalam sengketa lahan. Pemerintah harus memastikan lahan terlantar ini dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan dana besar dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Masyarakat berharap ada transparansi dan langkah tegas dari semua pihak terkait untuk menyelesaikan kasus ini secara adil. (Tim)