BACAHUKUM.COM, JAMBI – Apakah Pemungutan Suara Ulang (PSU) akan tidak ada Politik Uang? Itu menjadi pertanyaan yang mendasar, karena hak suara akan menjadi cacat hukum jika kemudian justru Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi ajang gila-gilaan bermain politik uang. Bagi pasangan calon Pemungutan Suara Ulang adalah arena tempur habis-habisan. Sehingga segala sumber daya dan kemampuan akan dimaksimalkan.
Bagaimana kabar penyelenggara (KPU) yang sebelumnya jadi Termohon di Mahkamah Konstitusi?
Bagi daerah yang seluruh daerahnya PSU akan menjadi pekerjaan berat dan biaya tambahan bagi penyelenggara. Namun bagi daerah yang hanya sebagian PSU seharusnya ini menjadi ajang untuk lebih maksimal dalam penyelenggaraan dan pengawasan agar apa yang menjadi catatan dan masalah sehingga terjadinya PSU tidak terulang kembali.
Akar masalah PSU adalah karena adanya politik uang
PSU terjadi karena kuat dan dominannya politik uang. Modus sehingga terjadinya PSU adalah ketidaknetralan penyelenggara, manipulasi data pemilih, pemilih suara ganda, pemilih suara tidak berhak, intervensi pimpinan terhadap bawahan, ketidaknetralan petahana, memilih di bawah tekanan.
Semua modus tersebut selalu dibungkus dengan politik uang untuk melancarkan aksinya.
Mental pemilih di PSU
Ada anggapan di masyarakat PSU adalah ajang pesta untuk mendapat uang dari Pasangan Calon dalam jumlah besar. Mental inilah yang berbahaya, sehingga Penyelenggara seharusnya mencegah hal tersebut dengan sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat, bahkan jika perlu dibuatkan pakta integritas agar menolak politik uang sebelum PSU.
Menurut Penulis jika tidak ada perbaikan di level teknis dan pencegahan di level pemilih, Politik Uang akan tetap terjadi selama PSU, sehingga apa yang menjadi pembuktian dan catatan di Mahkamah Konstitusi sia-sia. (Penulis: Abdurrahman Sayuti, SH., MH., C.L.A, Advokat)