BACAHUKUM, JAKARTA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyoroti tantangan besar yang masih menghambat perempuan Indonesia untuk mencapai posisi strategis di sektor publik. Dalam seminar bertajuk “Strategic Action Plan to Close the Gender Gap in Public Sector Leadership Roles”, Arifah mengungkapkan bahwa diskriminasi, marginalisasi, dan stereotip gender menjadi hambatan utama bagi perempuan.
“Kesenjangan ini bukan hanya masalah kualifikasi, tetapi terkait tantangan unik yang dihadapi perempuan selama perjalanan karier mereka,” ujar Arifah, Sabtu (7/12/2024).
Saat ini, meskipun regulasi seperti kuota minimum 30% keterwakilan perempuan di parlemen telah diterapkan, realisasinya masih jauh dari harapan. Berdasarkan data terkini, keterwakilan perempuan di parlemen baru mencapai 22,5%. Sementara itu, data Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2023 menunjukkan perempuan yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya hanya 17,8%, dan JPT Pratama bahkan lebih rendah, yakni 16%.
“Padahal, kepemimpinan perempuan terbukti memiliki dampak positif terhadap performa organisasi dan penting untuk menciptakan pembangunan negara yang lebih inklusif,” tegas Arifah.
Mayoritas ASN Perempuan, Namun Minim Representasi di Jabatan Strategis
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Rini Widyantini, menambahkan bahwa perempuan mendominasi jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan proporsi 57% dari total 4,7 juta ASN. Namun, jumlah tersebut tidak berbanding lurus dengan representasi mereka di jabatan struktural.
“Hal ini bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi faktor biologis seperti kehamilan dan melahirkan sering kali dianggap menghambat karier mereka,” ungkap Rini.
Kondisi ini menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam sistem yang selama ini memengaruhi akses perempuan terhadap posisi kepemimpinan.
Langkah Strategis Pemerintah untuk Mengatasi Kesenjangan Gender
Guna menjawab tantangan ini, Kementerian PPPA bersinergi dengan KemenPAN RB, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Beberapa langkah strategis yang telah dan akan dilakukan meliputi:
- Pengembangan Kapasitas ASN Perempuan:
Pemerintah memberikan pelatihan untuk memperkuat kompetensi dan kapasitas ASN perempuan, sehingga mereka lebih percaya diri bersaing untuk posisi strategis. - Manajemen Talenta Berbasis Meritokrasi:
Pengelolaan talenta secara transparan dan adil untuk memastikan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama berdasarkan kompetensi, bukan stereotip. - Kebijakan Fleksibilitas Kerja:
Kebijakan seperti Peraturan Menteri PAN RB Nomor 7 Tahun 2022 dan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2023 memberikan fleksibilitas jam kerja dan mendorong perempuan menjadi pemimpin sesuai kompetensi. - Cuti Melahirkan untuk ASN Laki-Laki:
Pemerintah sedang merancang regulasi baru yang memberikan cuti melahirkan bagi ASN laki-laki agar dapat mendampingi istrinya. “Dengan cara ini, beban perempuan selama masa produktif dapat dikurangi,” jelas Rini.
Menghapus Stereotip, Membangun Kepemimpinan Inklusif
Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga masalah sistemik yang memerlukan perubahan paradigma. Langkah pemerintah ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk membangun sistem kepemimpinan yang lebih inklusif, adil, dan berdaya saing.
Dengan semakin banyak perempuan yang mampu menempati posisi strategis, Indonesia tidak hanya akan mempersempit kesenjangan gender, tetapi juga memperkuat fondasi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
“Kita semua perlu bekerja sama agar kesetaraan gender menjadi kenyataan, bukan sekadar wacana,” tutup Arifah penuh harap. (Tim)