BACAHUKUM.COM, JAMBI – Fenomena budaya instan yang kian menjamur dalam kehidupan Generasi Z tidak bisa dilepaskan dari pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi. Dalam kerangka teori determinisme teknologi ala Marshall McLuhan, media bukan hanya alat penyampai pesan, melainkan pesan itu sendiri—yang membentuk cara berpikir dan bertindak manusia. Generasi Z yang lahir dan besar di era internet dan media sosial mengalami transformasi kognitif dan afektif yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.Proses berpikir mereka dibentuk oleh kecepatan akses informasi, algoritma personalisasi, dan sistem penghargaan instan melalui “likes” dan “views”. Di satu sisi, ini mencerminkan evolusi pengetahuan dalam masyarakat digital. Namun, di sisi lain, ia menggeser nilai-nilai klasik seperti kesabaran, kerja keras, dan penghargaan atas proses.
Budaya Instan dan Krisis EksistensiDalam pandangan filsafat eksistensialisme Heidegger, Generasi Z berisiko terjebak dalam konsep das Man—eksistensi yang teralienasi, tunduk pada norma kolektif dan ilusi kebaruan. Budaya instan menciptakan realitas yang serba cepat dan dangkal, tanpa ruang untuk kedalaman makna. Ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah budaya instan ini membuka jalan menuju inovasi progresif atau justru membawa dekadensi peradaban? Budaya Instan sebagai Produk Industri BudayaDalam perspektif mazhab Frankfurt, budaya instan adalah manifestasi dari industri budaya yang menciptakan false consciousness (kesadaran palsu). Menurut Adorno dan Horkheimer, kebebasan dalam masyarakat kapitalis sejatinya semu. Generasi Z, melalui ketergantungan terhadap konten digital instan, menjadi konsumen pasif dalam sistem kapitalisme baru yang dikendalikan oleh logika pasar dan algoritma.Platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels menyederhanakan kreativitas menjadi komoditas cepat saji. Relasi kuasa pun timpang: produsen algoritma memegang kendali, sementara Gen Z menjadi subjek yang dikonstruksi ulang identitas dan aspirasi hidupnya. Inilah bentuk dominasi baru yang mengancam otonomi berpikir kritis.
Adaptasi atau Degradasi? Perspektif Modernitas ReflektifNamun, budaya instan tak bisa serta-merta dilabeli negatif. Dalam pandangan Anthony Giddens tentang modernitas reflektif, budaya instan juga merupakan bentuk adaptasi terhadap dunia yang serba cair (liquid modernity). Generasi Z, dalam kerangka ini, tidak hanya korban, tetapi juga agen perubahan.Kecepatan dalam mengambil keputusan, efisiensi komunikasi, dan kemampuan multitasking adalah kapabilitas baru yang sesuai dengan tuntutan era digital. Dengan pendampingan yang tepat—melalui literasi digital dan kesadaran reflektif—budaya instan justru bisa menjadi katalisator inovasi, bukan jebakan konsumtif.
Pendidikan dan Tantangan ‘Instanisasi’ Pengetahuan Paulo Freire, dalam kritiknya terhadap model pendidikan banking, menyoroti bahaya pendidikan yang hanya menjadikan siswa sebagai wadah pasif. Di era budaya instan, proses pendidikan terancam mengalami instanisasi: dari pemahaman mendalam menjadi sekadar hafalan cepat.Tantangan terbesar adalah membangkitkan kesadaran kritis (conscientização) agar Generasi Z tidak tenggelam dalam pengetahuan dangkal. Teknologi seharusnya digunakan untuk memperkaya makna belajar, bukan hanya mempercepatnya. Oleh karena itu, intervensi pedagogis yang dialogis dan transformatif menjadi sangat penting.
Krisis Identitas dalam Budaya InstanDalam kerangka psikologi perkembangan Erik Erikson, Generasi Z saat ini berada pada tahap pencarian identitas versus kebingungan identitas. Budaya instan menyodorkan beragam pilihan gaya hidup secara cepat, yang justru dapat mempercepat krisis identitas.Overexposure terhadap informasi dan tekanan sosial digital menyebabkan minimnya ruang refleksi. Identitas pun dibentuk oleh sinyal sosial instan, bukan proses internalisasi nilai yang mendalam. Akibatnya, muncul gejala seperti kecemasan eksistensial, digital burnout, dan depersonalisasi. Maka yang dibutuhkan adalah mekanisme sosial dan psikologis yang memperkuat ketahanan pribadi dalam menghadapi derasnya arus digital.
Habitus Digital dan Modal Sosial Baru Pierre Bourdieu menyebut habitus sebagai pola disposisional yang membentuk tindakan dan pemikiran. Dalam masyarakat digital, habitus Generasi Z dibentuk oleh nilai-nilai instan seperti jumlah follower, engagement, dan status influencer—menggeser makna prestasi dari capaian substansial ke simbolik.Jika tidak diimbangi dengan modal budaya yang kuat, seperti etika, pengetahuan, dan kearifan lokal, maka habitus digital ini bisa menciptakan generasi yang terjebak dalam ilusi kesuksesan. Maka dibutuhkan medan sosial alternatif yang menyeimbangkan antara kecepatan dan kedalaman.
Budaya Instan sebagai Hiperrealitas Jean Baudrillard, dalam teori simulakra, menggambarkan dunia postmodern yang dipenuhi oleh simbol dan citra tanpa referen nyata. Generasi Z hidup dalam lanskap hiperrealitas di mana eksistensi dibentuk oleh representasi digital, bukan pengalaman konkret. Dalam ruang ini, kreativitas dan kebebasan hanya ilusi yang dikendalikan oleh kekuatan pasar dan teknologi.Pertanyaan kritisnya: Bagaimana menjaga otonomi eksistensial dalam dunia yang didominasi budaya instan? Tanpa kesadaran kritis, generasi ini akan menjauh dari realitas sosial dan eksistensial yang sejati.
Inovasi Disruptif
Sisi Lain dari Budaya InstanNamun demikian, budaya instan juga dapat menjadi bentuk inovasi disruptif ala Clayton Christensen. Mentalitas cepat dan berani mencoba yang melekat pada budaya instan telah mendobrak praktik-praktik lama yang lamban dan birokratis. Dalam ekonomi kreatif, budaya instan membuka peluang demokratisasi produksi konten—siapa pun kini bisa jadi kreator tanpa izin institusi formal.Fenomena ini merupakan bentuk bottom-up innovation, yang memperkuat partisipasi sosial dan ekonomi. Namun, agar berdampak positif, inovasi ini harus disertai dengan etika digital, kesadaran sosial, dan tanggung jawab budaya.
Penutup
Menavigasi Budaya Instan Secara BijakBudaya instan dalam kehidupan Generasi Z adalah fenomena kompleks yang tidak bisa dipukul rata sebagai ancaman atau berkah. Ia merupakan hasil interaksi antara teknologi, kapitalisme, struktur sosial, dan kesadaran manusia. Oleh karena itu, peran filsafat, pendidikan, kebijakan publik, dan komunitas intelektual sangat penting dalam membentuk budaya digital yang reflektif dan beretika.Generasi Z membutuhkan panduan moral dan intelektual agar budaya instan tidak menjadi penjara digital, tetapi menjadi medium pembebasan untuk menggapai potensi autentik mereka. Kita tidak bisa menghentikan arus budaya instan, tetapi kita bisa menavigasinya dengan kebijaksanaan kolektif.
Oleh: Dr. Ahmad Soleh, SE., ME.Dosen Pascasarjana Magister Pendidikan Ekonomi Universitas Jambi
Sumber : WartaPendidikan.co.id