Uji Materi UU Kabupaten Batanghari Tidak Diterima MK, Ini Alasannya

BACAHUKUM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi (UU Kabupaten Batanghari). Permohonan ini diajukan oleh Bupati Batang Hari, Fadhil Arief, dan Ketua DPRD Kabupaten Batang Hari, Rahmad Hasrofi, dengan nomor perkara 166/PUU-XXII/2024. Dalam sidang pleno pada Kamis (2/1/2025), Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Alasan Penolakan MK

Dalam putusan yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Mahkamah menilai bahwa pengujian norma yang menyangkut kepentingan pemerintahan daerah hanya dapat diajukan oleh Pemerintahan Daerah sebagai satu kesatuan, yaitu kepala daerah bersama DPRD setempat. Hal ini sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang MK yang mengatur kedudukan hukum (legal standing) pemohon.

“Pengujian seluruh frasa ‘Kabupaten Batanghari’ dalam UU 37/2024 serta Pasal 2 yang berkenaan dengan tanggal pembentukan kabupaten, adalah urusan pemerintahan daerah. Karena itu, yang berwenang mengajukan permohonan adalah kepala daerah bersama DPRD sebagai satu kesatuan pemerintahan daerah,” jelas Ridwan Mansyur.

Kekurangan Dokumen Pendukung

Pada persidangan pendahuluan yang berlangsung pada 4 Desember 2024, Mahkamah telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum mereka. MK meminta bukti berupa hasil Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Batanghari yang menyetujui pengajuan uji materi. Namun, hingga sidang perbaikan permohonan pada 17 Desember 2024, dokumen tersebut tidak dilampirkan.

Penambahan Pemohon Baru

Dalam perbaikan permohonannya, Pemohon menambahkan dua pihak baru, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Umum Lembaga Adat Melayu Jambi Bumi Serentak Bak Regam, sebagai Pemohon III dan IV. Kedua Pemohon ini mengklaim sebagai perorangan warga negara Indonesia yang mewakili kepentingan adat dan budaya setempat. Namun, MK menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian norma yang berhubungan dengan urusan pemerintahan daerah.

“Pemohon III dan IV bukan merupakan bagian dari pemerintahan daerah. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan a quo,” tegas Ridwan.

Masalah Penulisan Nama Kabupaten

Substansi permohonan yang diajukan para Pemohon berfokus pada perubahan penulisan nama “Kabupaten Batang Hari” yang menjadi “Kabupaten Batanghari” dalam UU 37/2024. Para Pemohon berpendapat bahwa perubahan ini menimbulkan berbagai masalah administratif dan budaya.

Menurut Pemohon, penulisan yang tidak sesuai tersebut berdampak pada pengelolaan dokumen resmi, verifikasi data, serta pencatatan arsip sejarah Kabupaten Batang Hari. Mereka juga mengkhawatirkan bahwa ketidaksesuaian ini akan mengganggu pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah.

Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “Kabupaten Batanghari” dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka mengusulkan revisi Pasal 2 agar mencantumkan tanggal pembentukan kabupaten yang sesuai dengan fakta sejarah.

Putusan Final MK

Namun, Mahkamah tidak memproses lebih lanjut pokok permohonan tersebut karena para Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum yang sah.

“Tanpa adanya hasil Rapat Paripurna DPRD yang mendukung permohonan, kedudukan hukum para Pemohon tidak dapat diakui,” kata Ridwan. Oleh sebab itu, MK memutuskan untuk tidak mempertimbangkan substansi perkara lebih lanjut. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top