Ambang Batas Permohonan Sengketa Pilkada Tak Lagi Mutlak Diputus dalam Proses Dismissal

BACAHUKUM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran penting dalam memutuskan sengketa hasil pemilihan kepala daerah atau yang dikenal dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada). Dalam proses tersebut, MK berpedoman pada dua syarat utama: permohonan harus diajukan oleh pasangan calon kepala daerah dan memenuhi syarat formil yang ditetapkan, salah satunya terkait ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Namun, dalam beberapa kasus, MK menunjukkan fleksibilitas dalam memberlakukan ketentuan ambang batas ini. Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan bahwa permohonan yang tidak memenuhi syarat ambang batas tetap dapat dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara, asalkan pemohon dapat meyakinkan Mahkamah dengan bukti atau dalil yang spesifik.

Ketentuan Pasal 158 UU Pilkada

Pasal 158 UU Pilkada menetapkan bahwa pasangan calon kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPUD jika memenuhi syarat selisih suara tertentu. Syarat tersebut bervariasi, mulai dari 2 persen hingga 0,5 persen, tergantung pada jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, atau kota yang bersangkutan. Dengan ketentuan ini, jika selisih suara melebihi ambang batas, permohonan pemohon berisiko ditolak pada tahap awal atau dismissal.

Namun demikian, perkembangan dalam praktik menunjukkan bahwa ketentuan ini tidak selalu diterapkan secara ketat. Dalam beberapa putusan terakhir, MK memberikan peluang kepada pemohon untuk melanjutkan perkara meskipun tidak memenuhi syarat formil ambang batas, asalkan terdapat alasan kuat yang mendasarinya.

Fleksibilitas Mahkamah dalam Penanganan Kasus

Suhartoyo menjelaskan bahwa MK dapat melanjutkan pemeriksaan perkara jika pemohon berhasil meyakinkan Mahkamah tentang adanya pelanggaran serius, seperti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), atau kesalahan dalam proses penetapan hasil oleh KPUD. “Misalnya, pemohon bisa meyakinkan kepada Mahkamah bahwa dalam proses penetapan hasil pilkada yang dilakukan oleh termohon (KPUD) ada kesalahan atau kelalaian, termasuk ada peristiwa pelanggaran TSM,” ujar Suhartoyo dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada di Pusdik Pancasila dan Konstitusi, Puncak, Bogor, Senin (26/8/2024) malam.

Menurut Suhartoyo, kemampuan pemohon dalam menghadirkan bukti yang kuat dan meyakinkan membuka peluang besar untuk melanjutkan permohonan ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Jika dalam tahap tersebut dalil-dalil pemohon terbukti, maka permohonan dapat dikabulkan, meskipun pada awalnya tidak memenuhi syarat ambang batas.

“Ketika diputus bersama-sama dengan pokok permohonan dan pemohon berhasil membuktikan dalil-dalilnya, maka permohonan pemohon akan lolos (dikabulkan, red) dan itu akan memenuhi syarat formil kedudukan hukum,” terang Suhartoyo.

Preseden: Kasus Pilkada Sabu Raijua

Wakil Ketua MK Saldi Isra menyoroti contoh konkret dari Pilkada Serentak 2020 di Kabupaten Sabu Raijua. Dalam perkara ini, MK mengabaikan syarat formil ambang batas dan jangka waktu proses karena menemukan substansi pokok permohonan yang sangat spesifik. Dalam kasus tersebut, Mahkamah bahkan mengabulkan permohonan pemohon dan mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang sebelumnya ditetapkan KPU sebagai calon terpilih.

“Alasan Mahkamah, Pihak Terkait yang ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih oleh KPUD diindikasikan memiliki kewarganegaraan ganda,” ungkap Saldi.

Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa calon tersebut selain memiliki KTP Indonesia juga memegang paspor asing. Hal ini menjadi faktor yang sangat menentukan dalam putusan MK.

Implikasi bagi Para Pemohon

Dengan adanya preseden seperti kasus Sabu Raijua, Saldi Isra menegaskan bahwa pemohon PHP Kada tidak perlu takut terhadap ketentuan Pasal 158 UU Pilkada selama mereka mampu menghadirkan bukti kuat yang menunjukkan adanya kesalahan, kekeliruan, atau pelanggaran serius dalam proses pilkada.

“Sepanjang ia mampu memberi keyakinan pada Mahkamah tentang ada tidaknya kesalahan, kekeliruan, atau pelanggaran serius dalam pilkada, maka permohonan tetap dapat dilanjutkan meskipun syarat formil tidak terpenuhi,” ujar Saldi.

Kemampuan pemohon dalam menyusun dalil dan menghadirkan bukti yang kuat menjadi kunci dalam proses PHP Kada. Meskipun syarat formil seperti ambang batas selisih suara diatur secara ketat dalam Pasal 158 UU Pilkada, MK menunjukkan fleksibilitas dalam penanganan kasus-kasus tertentu yang dianggap substansial. Dengan demikian, Pasal 158 tidak lagi menjadi penghalang mutlak, asalkan pemohon dapat meyakinkan Mahkamah tentang adanya pelanggaran serius atau kesalahan fatal dalam proses pilkada. Hal ini memberikan harapan bagi pemohon untuk tetap mendapatkan keadilan dalam proses demokrasi. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top