BacaHukum.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengidentifikasi sedikitnya 21 pasal krusial dalam Rancangan Undang-undang tentang revisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang dinilai bermasalah, baik dari sisi norma maupun kelembagaan.
Beberapa pasal yang disoroti antara lain Pasal 1, Pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83 hingga Pasal 85, Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102 sampai Pasal 104, Pasal 109, serta Pasal 127.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (30/10), menegaskan bahwa perubahan pasal-pasal tersebut justru berpotensi melemahkan fungsi dan independensi lembaga.
Kewenangan Komnas HAM Dibatasi dalam Rancangan Baru
Menurut Putu, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki empat tugas utama sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (7), Pasal 75, dan Pasal 89 ayat (1–4), yaitu pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi.
Namun, dalam rancangan terbaru, kewenangan tersebut nyaris dihapus. Pasal 109 disebutkan membatasi peran Komnas HAM hanya pada pengkajian yang berkaitan dengan regulasi dan instrumen internasional.
“Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, maupun memberikan pendidikan dan penyuluhan HAM,” ungkap Putu.
Independensi Komnas HAM Terancam
Lebih lanjut, Putu menyoroti ketentuan Pasal 100 ayat (2) huruf b yang mengatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh Presiden. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip independensi sebagaimana diatur dalam Paris Principles.
Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, panitia seleksi anggota justru dibentuk oleh sidang paripurna Komnas HAM, bukan oleh pemerintah.
“Jika seleksi anggota dikendalikan eksekutif, maka prinsip independensi lembaga akan hilang,” tegas Putu.
Kewenangan Digeser ke Kementerian HAM
Rancangan baru juga memberikan kewenangan penanganan pelanggaran HAM kepada Kementerian HAM. Menurut Putu, hal ini tidak dapat dibenarkan karena kementerian merupakan bagian dari pemerintah yang berstatus sebagai duty bearer atau pemangku kewajiban HAM.
“Pemerintah tidak seharusnya sekaligus menjadi pihak yang diadukan dan juga penilai atas dugaan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sebab dalam banyak kasus, pihak yang diadukan justru berasal dari unsur pemerintah.
Penghapusan Fungsi Edukasi dan Pengawasan
Komnas HAM juga menilai hilangnya kewenangan dalam bidang pendidikan dan penyuluhan HAM akan memperlemah upaya pencegahan pelanggaran di masyarakat.
Selain itu, dihapuskannya kewenangan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan menghilangkan fungsi korektif lembaga terhadap kebijakan pemerintah yang berpotensi melanggar HAM.
“Pembatasan kerja sama dengan lembaga HAM nasional maupun internasional juga menutup ruang kolaborasi untuk menangani kasus lintas yurisdiksi,” terang Putu.
Upaya Pelemahan Lembaga HAM Nasional
Lebih jauh, Putu menilai rancangan revisi UU HAM tersebut berpotensi menjadi langkah untuk menghapus peran Komnas HAM dari sistem kelembagaan HAM nasional.
“Definisi, tujuan, dan kewenangan dalam rancangan ini tidak selaras. Tujuan Komnas HAM untuk menciptakan kondisi kondusif bagi perlindungan dan penegakan HAM akan mustahil tercapai jika kewenangannya justru dibatasi,” ujarnya.
Komnas HAM mendesak pemerintah agar revisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tidak melemahkan, melainkan memperkuat lembaga sebagai bagian dari sistem perlindungan HAM di Indonesia.
“Substansi revisi seharusnya diarahkan untuk memperkuat norma, pemenuhan HAM oleh pemerintah, serta perlindungan kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan lansia,” kata Putu.
Ia menegaskan bahwa Komnas HAM telah menyiapkan naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang berfokus pada penguatan fungsi dan efektivitas lembaga dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Editor : Tim BacaHukum
Sumber : dikutp dari CNN Indonesia

 
			 
			 
			 
			