Ketiadaan Pasal 114 UU Narkotika: Kekosongan Hukum yang Mengancam Penegakan Hukum

BacaHukum.com – Setelah lebih dari delapan dekade hidup di bawah bayang-bayang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS) warisan kolonial Belanda, Indonesia bersiap memasuki babak baru hukum pidana nasional.

Mulai 2 Januari 2026, KUHP Nasional resmi diberlakukan menggantikan KUHP lama yang telah berlaku sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Momen ini dipandang sebagai langkah monumental menuju kedaulatan hukum nasional.

Namun, di balik kebanggaan itu, muncul kekhawatiran serius dari kalangan hukum. Sejumlah pakar menilai bahwa KUHP Nasional justru menyisakan titik buta berbahaya dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika, terutama setelah dihapusnya Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tanpa ketentuan pengganti yang jelas.

Pencabutan Pasal 114 dan Lahirnya Kekosongan Hukum

Pasal 114 UU Narkotika selama ini menjadi dasar hukum utama bagi aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku perdagangan narkotika Golongan I  mulai dari bandar, pengedar, hingga perantara jual-beli.

Namun, dalam KUHP Nasional, seluruh pasal 111 hingga 126 UU Narkotika, termasuk Pasal 114, secara eksplisit dicabut melalui Pasal 622 ayat (1) huruf w. Sebagai gantinya, tindak pidana narkotika diatur secara singkat dalam Bab XXXV Bagian Kelima KUHP Nasional, yang hanya mencakup tiga pasal:

  • Pasal 609: mengatur tentang produksi, impor, ekspor, dan penyaluran narkotika ilegal;
  • Pasal 610: mengatur kepemilikan dan penguasaan narkotika;
  • Pasal 611: mengatur penyediaan narkotika untuk digunakan bersama.

Permasalahan muncul karena tidak satu pun dari pasal tersebut secara tegas mengatur perbuatan menjual, membeli,  atau menjadi perantara dalam jual-beli narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika.

Istilah “Menyalurkan” Dinilai Tidak Memadai

Sebagian pihak berpendapat bahwa istilah “menyalurkan” dalam Pasal 609 KUHP Nasional dapat mencakup unsur “menjual”. Namun pandangan ini dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Asas legalitas pidana mengharuskan setiap perbuatan dirumuskan dengan jelas dan tegas. Istilah “menyalurkan” dianggap terlalu luas dan multitafsir  apakah mencakup perdagangan, distribusi, atau sekadar pengantaran.

Secara dogmatik, aktivitas menyalurkan dan menjual adalah dua hal berbeda. Kurir mungkin hanya menyalurkan tanpa terlibat transaksi jual-beli, sementara bandar bisa mengatur transaksi tanpa pernah memegang barang. Dalam konteks ini, pelaku utama perdagangan narkotika justru berpotensi lolos dari jeratan hukum.

Implikasi: Kemandulan Hukum dan Ancaman Sosial

Para pengamat memperingatkan bahwa kekosongan hukum ini akan membawa konsekuensi serius:

1. Kemandulan penegakan hukum, karena kepolisian dan kejaksaan tidak lagi memiliki dasar pasal spesifik untuk menjerat pengedar dan perantara jual-beli narkotika;

2. Keuntungan bagi jaringan narkotika, yang bisa memisahkan peran antara pelaku jual-beli dan penguasaan barang untuk menghindari jerat pidana;

3. Peningkatan peredaran narkotika, akibat risiko hukum yang menurun drastis bagi pelaku perdagangan;

4. Kontradiksi terhadap semangat pemberantasan narkotika, karena hilangnya pasal utama justru memutus rantai ekonomi perdagangan narkotika.

Dari perspektif teori hukum, kekosongan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip nullum crimen sine lege certa  tidak ada tindak pidana tanpa aturan yang jelas.

Sebagai solusi, para pakar mendorong dua langkah utama:

  • Legislative review atau penerbitan Perppu untuk merevisi Pasal 609 KUHP Nasional agar mencantumkan unsur “menjual, membeli, dan menjadi perantara dalam jual beli narkotika”;
  • Penyusunan UU Narkotika baru  sebagai lex specialis, guna mengembalikan pengaturan detail dan komprehensif terhadap kejahatan narkotika.

Langkah sementara dapat dilakukan Mahkamah Agung melalui penerbitan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sebagai pedoman interpretasi, meski hal ini dianggap bukan solusi ideal karena dapat menimbulkan pelanggaran asas legalitas.

Jangan Biarkan Transisi Hukum Menjadi Tragedi

Pemberlakuan KUHP Nasional adalah tonggak penting bagi kedaulatan hukum Indonesia. Namun, jika kekosongan hukum terkait tindak pidana narkotika dibiarkan, maka lompatan sejarah ini justru bisa berbalik menjadi kemunduran besar.

“Jangan sampai kebanggaan memiliki KUHP sendiri justru menjadi celah baru bagi bandar dan pengedar narkotika untuk beroperasi tanpa hukuman,” ujar salah satu pakar hukum pidana.

Momentum sebelum 2 Januari 2026 menjadi sangat krusial untuk melakukan koreksi. Demi kepastian hukum, keselamatan generasi muda, dan masa depan bangsa yang bebas dari narkotika, lubang hukum ini harus segera ditutup sebelum menjadi tragedi nasional.

Editor : Tim BacaHukum

Sumber : dikutip dari MARINews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top