Prof. Harkristuti Tegaskan Pidana Mati di KUHP Baru Jadi Ciri Khas Sistem Hukum Indonesia

BacaHukum.com, Jakarta – Badan Strategi, Diklat Hukum dan Peradilan (BSDK) Mahkamah Agung RI kembali menggelar Pelatihan Singkat dan Pendalaman Substansi KUHP Nasional Gelombang IV bagi 800 hakim di seluruh Indonesia, pada 6–10 Oktober 2025 secara daring.

Pada Selasa (8/10), pelatihan menghadirkan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, sebagai narasumber dengan materi bertajuk ‘’Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam KUHP Baru.”

Dalam pemaparannya, Prof. Harkristuti yang akrab disapa Prof. Tuti menyoroti pengaturan pidana mati dalam KUHP baru yang dinilai berbeda secara prinsipil dibandingkan KUHP lama.

Pidana Mati Dikategorikan Sebagai Pidana Khusus

Prof. Tuti menjelaskan bahwa dalam KUHP baru, pidana mati dikategorikan sebagai pidana khusus yang diancamkan secara alternatif dan dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.

Menurutnya, mekanisme ini membuka ruang bagi terpidana untuk menunjukkan perubahan perilaku selama masa percobaan sebelum eksekusi dijalankan.

Dalam sesi diskusi, sejumlah peserta pelatihan mengajukan pertanyaan mengenai alasan filosofis di balik pengaturan tersebut. Sebagian pihak menilai kebijakan ini terkesan “setengah hati” dalam menegakkan pidana mati.

Jalan Tengah Dua Pandangan Besar

Menjawab hal itu, Prof. Tuti menegaskan bahwa pengaturan pidana mati dalam KUHP baru merupakan hasil kompromi dari dua mazhab besar dalam hukum pidana Indonesia.

Pertama, Mazhab Pretensionis, yang berpandangan bahwa hukuman mati adalah bentuk pembalasan setimpal bagi pelaku kejahatan luar biasa.

Kedua, Mazhab Abolisionis, yang menolak pidana mati dengan alasan hak hidup adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapa pun.

“Perumus KUHP akhirnya mengambil jalan tengah antara dua mazhab tersebut. Ini semacam Indonesia way ciri khas Indonesia, sebuah win-win solution yang menyeimbangkan antara keadilan dan kemanusiaan,” jelas Prof. Tuti.

Menjaga Keseimbangan Antara Keadilan dan Kemanusiaan

Lebih lanjut, Prof. Tuti menilai bahwa pendekatan ini merupakan bentuk evolusi pemidanaan yang mencerminkan karakter hukum nasional: tegas namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Menurutnya, keberadaan masa percobaan dalam pidana mati memberikan kesempatan kepada negara untuk menilai kembali perilaku dan potensi perbaikan moral terpidana.

“Pidana mati tetap diakomodir dalam sistem hukum kita, tetapi penerapannya disertai syarat-syarat ketat dan penilaian kemanusiaan yang mendalam,” ungkapnya.

Pelatihan yang digelar BSDK Mahkamah Agung ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan dalam memperkuat pemahaman para hakim terhadap filosofi, prinsip, serta penerapan KUHP baru yang kini telah resmi diberlakukan sebagai hukum pidana nasional.

Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas hakim dalam menafsirkan dan menerapkan hukum pidana sesuai semangat pembaruan, sehingga menciptakan sistem peradilan yang lebih adil, berimbang, dan manusiawi.

Editor : Tim Bacahukum

Sumber : dikutip dari Dandapala

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top