Dewan Pers Jangan Ciptakan “Kasta” Baru dalam Dunia Pers, Verifikasi Media Bukan Alat Legitimasi

BacaHukum.com, Jambi – Publik Jambi pekan ini disuguhi berita tentang 16 media siber yang telah terverifikasi Dewan Pers, baik secara administratif maupun faktual. Informasi ini penting dan patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menegakkan profesionalisme pers di era digital.

Namun, yang perlu dikritisi adalah ketika status verifikasi itu mulai diklaim sebagai bentuk superioritas informasi, bahkan secara implisit digunakan untuk mendeligitimasi ratusan media lokal lain yang belum atau belum sempat terverifikasi.

Narasi seperti ini tidak hanya bias, tapi juga berbahaya. Ia bisa menjadi awal dari lahirnya “kasta baru dalam dunia pers”, yang bertentangan secara fundamental dengan semangat demokrasi dan kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.

Tak Ada Kasta dalam Kebebasan Pers

Dalam semangat demokrasi dan era digitalisasi, tidak boleh ada kasta dalam ruang kebebasan pers. Semua entitas baik media nasional, lokal, komunitas, bahkan individu kreator memiliki hak yang setara untuk menyampaikan informasi yang faktual dan bertanggung jawab.

Verifikasi Dewan Pers adalah instrumen penting dalam ekosistem media profesional, bukan senjata untuk monopoli kebenaran atau tameng untuk menguasai ruang wacana publik. Bila status terverifikasi digunakan untuk menyingkirkan atau menegasikan eksistensi media lain, maka kita telah melenceng jauh dari semangat reformasi pers itu sendiri.

Media Lokal dan Praktek Jurnalisme Baru: Fakta Tak Terbantahkan

Realitas hari ini menunjukkan bahwa ratusan media lokal yang belum terverifikasi tetap menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi. Mereka menyuarakan isu-isu yang kerap tak disentuh media besar seperti konflik agraria, ketimpangan desa, kerusakan ekologi, hingga suara minoritas yang terlupakan.

Lebih dari itu, praktik jurnalisme telah melampaui pagar institusi media formal. Setiap individu seperti anak muda di desa, pegiat komunitas, atau aktivis lingkungan dapat memproduksi dan menyebarkan karya jurnalistik melalui berbagai platform digital. Banyak dari mereka lebih faktual, lebih cepat, dan lebih berani menyuarakan kebenaran.

Faktanya, generasi milenial dan Gen Z telah beralih dari media cetak dan siaran TV karena dinilai tidak relevan. Mereka tidak terpaku pada label “terverifikasi”, melainkan pada konten yang menyentuh realitas mereka.

Jangan Gunakan Administrasi sebagai Alat Represi

Mendorong media untuk terverifikasi adalah langkah baik. Namun, menjadikan administrasi dan legalitas sebagai barikade yang menyingkirkan media alternatif adalah bentuk perampasan hak publik.

Perlu diingat, Dewan Pers bukan satu-satunya penentu kebenaran informasi, bukan lembaga moral, apalagi hakim atas siapa yang boleh bersuara. Sangat tidak pantas bila status terverifikasi digunakan sebagai tameng eksklusif untuk menyingkirkan yang lain.

Yang lebih memprihatinkan, ada yang berlindung di balik label “media terverifikasi” justru memperdagangkan berita, menggadaikan independensi redaksi kepada kepentingan politik atau bisnis, bahkan menjadi corong oligarki.

Saatnya Inklusif, Bukan Elitis

Ekosistem pers yang sehat bukanlah yang disaring dengan ketat, melainkan yang dibina secara kolaboratif. Negara dan Dewan Pers semestinya hadir untuk membina, bukan menyaring secara eksklusif. Media lokal membutuhkan pendampingan, bukan penghakiman.

Komunitas sipil, pegiat lingkungan, dan masyarakat adat sangat paham mana media yang benar-benar berpihak pada rakyat, dan mana yang hanya tampil bersih secara administratif namun kehilangan nyawa jurnalistiknya.

Yang Dibutuhkan Publik Bukan Label, tapi Integritas

Pada akhirnya, integritas lebih penting daripada status. Verifikasi itu baik, tapi integritas dan keberanian menyuarakan kebenaran adalah yang utama. Jangan sampai kita sibuk membanggakan legalitas, tapi mati rasa terhadap isu-isu substansial yang menggerogoti kehidupan rakyat.

Jangan jadikan media sebagai menara gading yang steril dari realitas sosial. Jangan menempatkan diri di podium tinggi lalu menunjuk-nunjuk yang lain sebagai “tidak sah”. Karena dalam demokrasi, yang tidak sah adalah monopoli suara, bukan keberagaman suara.

Mari kita rawat ruang informasi ini bersama, tanpa arogansi status, tapi dengan semangat kolaborasi.

Penulis: Jefri Bintara Pardede

Editor: Redaksi Bacahukum.com

“Jefri Bintara Pardede adalah Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi dan Aktivis Sosial, Lingkungan & Pemerhati Media Inklusif.”

Terimakasih sudah kunjungi artikel bacahukum.com. Hubungi redaksi bacahukum.com { 082377120031 } jika diperlukan dan atau jika ada kekeliruan dalam penulisan ingin menyampaikan Hak jawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top