BacaHukum.com, Edukasi Hukum – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan gempuran iklan yang membanjiri kehidupan kita, perlindungan konsumen sering kali dipandang sekadar sebagai “hak ganti rugi“. Padahal, ia adalah tulang punggung keadilan sosial dan penjaga martabat warga negara dalam sistem ekonomi.
Mengapa Hukum Perlindungan Konsumen adalah Urusan Hidup-Mati?
Konsumen adalah Pihak Terlemah dalam Kapitalisme Liar Setiap hari, kita dijejali produk dan janji. Tapi saat barang cacat datang, atau jasa menipu, konsumen hanya bisa gigit jari. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) seharusnya menjadi tameng, bukan sekadar pajangan. Tanpa penegakan hukum yang galak, konsumen tetap jadi korban dalam drama “asimetri informasi” di mana pelaku usaha memegang semua kartu.
Praktik Nakal Bukan Cuma Rugikan Dompet, Tapi Bunuh Nyawa. Kasus susu formula bermelamin, kosmetik pemutih berlogam berat, atau pinjol yang menyiksa mental, membuktikan: pelanggaran hak konsumen adalah kekerasan terstruktur. Di sini, hukum bukan lagi soal ganti rugi materi, tapi pertanggungjawaban pidana. Sayangnya, sanksi dalam UUPK masih dianggap “hukuman ringan” bagi pelaku usaha nakal.
E-Commerce & Fintech Ladang Baru Penindasan Konsumen. Data BPSK 2024 menunjukkan 70% pengaduan berasal dari transaksi digital. Mulai dari barang tak dikirim, iklan palsu, hingga data pribadi dijual. Ironisnya, hukum kita masih tertatih mengatur ruang digital. Di era algoritma, konsumen bahkan tak tahu dirinya sedang dimanipulasi!
UUPK: Hukum yang (Harus) Hidup, Bukan Sekadar Teks
UUPK jelas menjamin hak dasar: keamanan, informasi jujur, pilihan bebas, dan didengar keluhannya. Tapi realitanya? Hukum ini mati suri tanpa tiga pilar:
- Penegakan Hukum yang Berpihak pada Rakyat
BPSK harus jadi “Rumah Konsumen”, bukan sekadar mediator. Berikan kewenangan eksekusi! Aparat penegak hukum jangan lagi anggap kasus konsumen sebagai “perkara sepele”. - Pelaku Usaha: Stop Jadi “Serigala Berbaju CSR”!
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tak akan menebus praktik bisnis kotor. Kepatuhan pada UUPK harus jadi DNA usaha, bukan sekadar menghindari denda. - Konsumen: Jangan Hanya Jadi Korban yang Diam!
Membeli adalah tindakan politik. Setiap rupiah yang kita belanjakan adalah suara untuk masa depan. Laporkan pelanggaran, tolak klausul merugikan, dan tuntut keadilan.
Darurat Perlindungan Konsumen: Langkah Revolusioner yang Dibutuhkan
- Revisi UUPK: Siapkan “Gigi Tajam” untuk Era Baru
Tambahkan sanksi pidana berat untuk pelaku usaha yang membahayakan jiwa konsumen. Atur secara khusus perlindungan data pribadi dan transaksi digital. - BPSK Harus Diberdayakan, Bukan Diberangus
Tambahkan kewenangan investigasi, anggaran memadai, dan cabang hingga tingkat kecamatan. Konsumen di Papua dan Aceh harus punya akses yang sama seperti di Jakarta. - Pendidikan Konsumen Masuk Kurikulum
Sejak SMA, anak Indonesia harus diajari: cara membaca label, melacak izin edar BPOM, hingga melaporkan pelaku usaha nakal. Konsumen cerdas adalah senjata ampuh melawan pasar gelap.
Kata Terakhir: Ini Bukan Perang Rakyat vs Pengusaha, Tapi Perlawanan terhadap Ketidakadilan
Prof. Suryanto, Guru Besar Hukum UI, tegas: “Jika hari ini kita abai pada jeritan konsumen yang dirugikan, besok bisa jadi kita atau anak kitalah yang jadi korban berikutnya. Perlindungan konsumen adalah cermin peradaban bangsa.”
Konsumen Indonesia sudah terlalu lama dianggap sebagai “sapi perah”. Saatnya hukum tidak hanya ada di kitab undang-undang, tapi hidup dalam setiap transaksi harian kita. Mari jadikan UUPK sebagai senjata, bukan sekadar slogan.
Penulis adalah Praktisi Hukum pada Mitra Jasa Hukum yang selalu memberikan Edukasi Hukum.#Narahubung: 0811748872
Editor: Prisal Herpani, S.H
Terimakasih sudah kunjungi artikel bacahukum.com. Hubungi redaksi bacahukum.com { 082377120031 } jika diperlukan dan atau jika ada kekeliruan dalam penulisan ingin menyampaikan Hak jawab