BacaHukum.com – Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah koalisi masyarakat sipil. Berbeda dengan gugatan-gugatan sebelumnya, kali ini gugatan dilakukan secara materiil. Gugatan dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh beberapa lembaga dan koalisi masyarakat sipil, di antaranya Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta.
Selain lembaga, tiga orang warga sipil juga ikut menjadi pemohon, yaitu Ikhsan Yosarie, Mochamad Adli Wafi, dan Muhammad Kevin Setio Haryanto.
Pasal-Pasal yang Digugat
Dalam permohonan ini, para pemohon meminta MK meninjau sejumlah pasal dalam UU TNI. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 dan angka 15; Pasal 7 ayat (4); Pasal 47 ayat (1); Pasal 53 ayat (2) huruf b, c, d, dan e; Pasal 53 ayat (4); serta Pasal 74 ayat (1) dan (2).
Pasal-pasal ini berkaitan dengan pengerahan operasi militer selain perang, penempatan perwira aktif di jabatan sipil, batas usia pensiun, dan sistem peradilan militer. Menurut pemohon, ketentuan tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara jika tidak ditafsirkan ulang atau dihapus.
“Misalnya masuk ke urusan otonomi daerah atau penanggulangan ancaman siber. Kami pikir hal-hal seperti ini penting untuk diuji,” ujar perwakilan YLBHI, Fadhil Alfathan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/11/2025).
Fadhil menegaskan bahwa koalisi masyarakat sipil mendukung militer yang profesional dan fokus pada tugas pokoknya. Namun, jika keterlibatan militer meluas ke ranah sipil atau urusan teknis pemerintahan, hal itu perlu dikritisi dan diuji secara konstitusional.
Serangkaian Gugatan Sejak UU TNI Direvisi
UU TNI yang baru direvisi pada 20 Maret 2025 memang menjadi sorotan publik. Hanya sebulan setelah disahkan, MK menerima delapan gugatan uji formil terhadap undang-undang tersebut. Dalam perkembangannya, total ada 11 gugatan yang disidangkan dan 14 gugatan yang tercatat masuk ke sistem MK.
Namun, sebagian besar gugatan itu tidak sampai pada pokok perkara. Setidaknya separuh dari gugatan sebelumnya digugurkan karena pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
Hakim konstitusi Saldi Isra menjelaskan, dalam beberapa permohonan sebelumnya, para pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas keterkaitan antara potensi kerugian dan dugaan pelanggaran konstitusional dalam proses pembentukan UU TNI.
“Uraian kedudukan hukum hanya menjelaskan kerugian sebagai masyarakat sipil dan mahasiswa, tanpa bukti adanya tindakan nyata dalam proses pembentukan UU 3/2025,” ujar Saldi dalam sidang di MK, Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Intimidasi dan Dinamika di Tengah Sidang
Selama proses persidangan, beberapa pemohon mengaku mengalami intimidasi dan teror dari pihak tidak dikenal. Bahkan, sebagian dari mereka akhirnya menarik gugatan karena alasan keamanan dan pertimbangan pribadi.
Dari seluruh perkara yang masuk, hanya lima gugatan yang berhasil mencapai tahap akhir pemeriksaan. Namun, seluruhnya ditolak oleh MK dalam putusan pada 17 September 2025.
Majelis hakim menilai, proses perancangan UU TNI telah melibatkan partisipasi publik dan informasi dapat diakses masyarakat. Meskipun demikian, penilaian ini menuai perdebatan karena proses dengar pendapat dinilai tidak terbuka sepenuhnya.
Hakim Berbeda Pendapat
Putusan untuk menolak gugatan tidak diambil secara bulat. Empat dari sembilan hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, Arsul Sani, dan Enny Nurbaningsih.
“Saya tiba pada kesimpulan berbeda dengan mayoritas hakim. Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan proses pembentukan UU TNI cacat prosedural,” ujar Saldi dalam salinan putusan.
Ia menilai, pemerintah harus memperbaiki proses pembentukan undang-undang tersebut dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih bermakna.
“Untuk itu, diberikan waktu paling lama dua tahun bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses yang cacat formal dimaksud,” kata Saldi.
Editor : Tim BacaHukum
Sumber : dikutip dari KOMPAS.com
