BacaHukum.com, Jambi – Pernyataan Kepala Bidang Sengketa Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Jambi, Ari, yang menyatakan bahwa izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Sawit Desa Makmur (PT SDM) yang terlantar tidak dapat dicabut, dinilai bertentangan dengan dua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang penegakan hukum terhadap tanah terlantar di Provinsi Jambi.
Seperti diketahui, Ari dalam keterangannya kepada media ini saat dikomfirmasi, Rabu (1/10/2025), menyatakan bahwa pencabutan izin HGU PT SDM seluas 14.225 hektar yang hanya dikelola di bawah 20Persen itu “tidak bisa dicabut” dengan alasan masa berlaku 30 tahun masih berjalan.
“Kita hanya akan berikan izin terhadap tanah yang dikelola oleh PT SDM saja, sedangkan tanah yang tidak dikelola maka tidak akan diperpanjang kepada mereka,” ujar Ari, seraya menambahkan bahwa solusi akan diterapkan pada masa perpanjangan izin.
Bertentangan Dengan PP 20/2021
Kebijakan “menunggu masa perpanjangan” yang disampaikan Ari tersebut secara tegas bertolak belakang dengan PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban dan Tanah Terlantar. Pasal dalam PP tersebut menyatakan dengan jelas bahwa lahan HGU yang tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara selama lebih dari dua tahun berturut-turut dapat dicabut.
Aturan ini tidak menyebutkan harus menunggu masa perpanjangan izin. Justru, PP ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mencabut HGU yang telah terbukti diterlantarkan sebelum jangka waktunya berakhir. Tanah yang dicabut kemudian dikuasai langsung oleh negara.
Diperkuat oleh UUPA 1960
Pertentangan ini semakin kuat dengan merujuk pada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai hukum agraria tertinggi. Pasal 34 UUPA dengan rinci menyebutkan sebab-sebab hapusnya HGU, yang salah satunya adalah “diterlantarkan”.
Ini berarti, penerlantaran tanah bukan sekadar alasan untuk tidak memperpanjang izin, tetapi merupakan dasar hukum yang sah dan mandiri untuk menghapuskan HGU tersebut sebelum waktunya.
Membuka Ruang Penelantaran Berkelanjutan
Kebijakan untuk tidak bertindak selama masa izin berjalan dinilai dapat menjadi preseden buruk. Pihak perusahaan pemegang HGU seolah diberikan keleluasaan untuk menerlantarkan tanahnya hingga puluhan tahun tanpa risiko pencabutan, hanya dengan imbalan tidak diperpanjang di akhir masa.
Padahal, dalam kurun waktu tersebut, tanah produktif yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat dan pembangunan justru terbengkalai, sementara konflik dengan masyarakat setempat bisa terus berlarut.
Sebagai salah satu aktivis hukum di jambi, menegaskan bahwa pernyataan pejabat tersebut keliru secara hukum.
“PP 20/2021 justru hadir untuk mengatasi kemandulan aturan. Pejabat di daerah tidak bisa lagi bersikap pasif dengan dalih menunggu masa perpanjangan. Kewajiban negara adalah menertibkan dan mencabut HGU yang terlantar, bukan menungguinya. Pernyataan ini mencerminkan ketidaktaatan pada mandat UUPA dan PP yang menjadi turunannya,” tegas aktivis yang enggan namanya dicatut.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lebih lanjut dari Kanwil ATR/BPN Jambi mengenai kritik bahwa kebijakannya dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Sedangkan Masyarakatarkat menunggu langkah tegas dan konsisten dari pemerintah dalam menegakkan hukum agraria, sesuai dengan amanat konstitusi untuk mencabut izin HGU PT SDM yang ditelantarkan selama 28 Tahun.
“Terimakasih sudah selalu mengikuti redaksi kami. Jika ada kekeliruan atau penyanggahan dan atau Hak jawab, silahkan hubungi redaksi kami 082377120031”