Menko Yusril Sebut Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Wujud Keadilan Bangsa

BacaHukum.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan pentingnya memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau nonyudisial. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya membangun sistem hukum nasional yang berkeadilan dan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Yusril saat membuka kegiatan Indonesian Arbitration Week and Indonesia Mediation Summit 2025 di Denpasar, Bali, Rabu (5/11). Ia menilai, penyelesaian sengketa melalui jalur damai seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase sejalan dengan tradisi musyawarah dan mufakat yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia.

Menurut Yusril, bangsa Indonesia memiliki akar budaya yang kuat dalam menyelesaikan konflik secara damai. Nilai musyawarah, mufakat, dan perdamaian yang tercermin dalam adat dan hukum Islam menjadi fondasi penting bagi sistem hukum nasional.

“Dalam perkembangan filsafat hukum modern, terjadi pergeseran paradigma dari pola konfrontatif menuju pendekatan yang damai dan berorientasi pada keadilan bermartabat,” ujarnya dalam sambutan yang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (7/11).

Ia menambahkan bahwa perdamaian bukan sekadar kesepakatan formal, melainkan ikrar moral yang memiliki kekuatan hukum dan nilai maslahat, yaitu mencari kebaikan bersama di antara pihak yang bersengketa. Prinsip tersebut, kata Yusril, seharusnya menjadi semangat utama dalam pengembangan sistem penyelesaian sengketa di Indonesia.

Tantangan Penguatan Sistem diluar Pengadilan

Lebih lanjut, Yusril menyoroti tiga tantangan besar dalam penguatan sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan di Tanah Air. Pertama, tantangan kultural, di mana masih kuatnya pandangan masyarakat bahwa pengadilan merupakan satu-satunya tempat mencari keadilan.

Kedua, tantangan regulasi, yakni perlunya pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, termasuk digitalisasi hukum dan ekonomi global.

Ketiga, tantangan sumber daya manusia (SDM), di mana mediator, konsiliator, dan arbiter dituntut tidak hanya memahami aspek hukum, tetapi juga menguasai bidang teknologi, keuangan, dan industri kreatif.

Mediasi dan Arbitrase sebagai Cerminan Kematangan Berpikir

Dalam pandangan Yusril, mediasi dan arbitrase harus dipahami sebagai wujud kematangan berpikir dan kedewasaan hukum, bukan sebagai kelemahan dalam mencari keadilan.

Ia menegaskan bahwa hukum tidak selalu harus bersifat kaku, melainkan harus menampung semangat keadilan dan nilai kebangsaan. “Kalau suatu perkara bisa diselesaikan dengan damai, jangan dipaksakan ke jalur pengadilan. Perdamaian yang lahir dari hati lebih manusiawi daripada keputusan yang semata berdasar teks hukum,” tuturnya.

Selain itu, Yusril mengingatkan pentingnya keberanian bangsa untuk menggunakan sistem hukum nasional dalam kontrak dan penyelesaian sengketa internasional. Ia mencontohkan sejumlah kasus arbitrase luar negeri yang justru merugikan Indonesia karena tidak menempatkan hukum nasional sebagai dasar penyelesaian.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia menegaskan kedaulatan hukumnya sendiri, termasuk dalam penyelesaian sengketa yang seharusnya bisa dimediasi dan diselesaikan di dalam negeri.

DSI Perkuat Kompetensi Mediator dan Arbiter Nasional

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabele Gayo, melaporkan bahwa sejak 2022 hingga 2025, lembaganya telah melatih dan mensertifikasi lebih dari 5.500 mediator nonhakim di seluruh Indonesia. Sekitar 75 persen di antaranya kini aktif di pengadilan negeri dan pengadilan agama.

Selain itu, DSI juga memiliki 144 konsiliator, 180 ajudikator, 850 arbiter, dan 125 praktisi dewan sengketa khusus sektor jasa konstruksi. Sebagai lembaga yang telah terakreditasi Mahkamah Agung, DSI menjalin kerja sama dengan berbagai mitra internasional, termasuk ASEAN International Alternative Dispute Resolution (AIDRA), untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi para praktisi.

“Kegiatan ini diharapkan menjadi ruang kolaborasi dan berbagi pengalaman antarpraktisi penyelesaian sengketa, agar layanan hukum di Indonesia semakin kuat, cepat, dan efisien,” ujar Sabele dalam laporannya.

Dalam kegiatan tersebut, DSI juga memberikan penghargaan kepada sejumlah mediator dan arbiter berprestasi sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka dalam menjaga integritas dan profesionalisme di bidang penyelesaian sengketa.

Acara tersebut turut dihadiri jajaran pimpinan Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Presiden AIDRA Abraham Kuadat, serta berbagai praktisi hukum, mediator, dan arbiter dari dalam dan luar negeri.

Editor: Tim BacaHukum

Sumber: dikutip dari ANTARANews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top