Ancaman Hukuman di Atas 5 Tahun, Masihkah Keadilan Restoratif Bisa Diterapkan?

BacaHukum.com – Keadilan Restoratif merupakan pendekatan dalam penanganan perkara pidana yang menitikberatkan pada upaya pemulihan, bukan pembalasan. Pendekatan ini melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa atau anak pelaku, keluarga terdakwa atau anak, maupun pihak lain yang berkepentingan dalam proses penyelesaian perkara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, tujuan utama mekanisme ini adalah mengembalikan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.

Fenomena penerapan prinsip keadilan restoratif kini mulai banyak diterapkan oleh pengadilan di berbagai daerah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semangat perdamaian dan pemulihan telah tumbuh dalam proses peradilan, dengan orientasi utama mengembalikan harmoni antara korban dan pelaku.

Lingkup dan Penerapan PERMA Nomor 1 Tahun 2024

PERMA Nomor 1 Tahun 2024 berlaku bagi seluruh perkara pidana, termasuk yang berada dalam lingkup hukum pidana jinayat dan militer. Aturan ini juga dapat diterapkan dalam mengadili perkara anak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Ketentuan tersebut bersifat wajib dan menjadi pedoman bagi seluruh hakim dalam mengadili perkara pidana dengan tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa prinsip keadilan restoratif bukan hanya alternatif, tetapi bagian integral dari sistem peradilan modern di Indonesia.

Klasifikasi Perkara yang Dapat Diterapkan Keadilan Restoratif

Dalam Pasal 6 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2024, hakim diberikan kewenangan untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif apabila perkara yang diperiksa termasuk dalam salah satu kategori berikut:

1. Tindak pidana ringan atau perkara dengan kerugian korban tidak lebih dari Rp2,5 juta atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.

2. Tindak pidana yang merupakan delik aduan.

3. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun.

4. Tindak pidana dengan pelaku anak yang proses diversi sebelumnya tidak berhasil.

5. Tindak pidana lalu lintas yang termasuk kategori kejahatan.

Sementara itu, dalam ayat (2) ditegaskan bahwa hakim tidak dapat menerapkan mekanisme keadilan restoratif apabila korban atau terdakwa menolak untuk berdamai, terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun setelah menjalani hukuman.

Penerapan pada Perkara dengan Ancaman Hukuman Lebih dari Lima Tahun

Pertanyaan muncul mengenai kemungkinan penerapan keadilan restoratif dalam perkara dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf c, hakim dapat mempertimbangkan mekanisme ini jika dalam salah satu dakwaan terdapat pasal dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun.

Syarat tambahan juga perlu dipenuhi, antara lain: korban dan terdakwa tidak menolak perdamaian (Pasal 6 ayat 2), terdakwa mengakui perbuatannya dan tidak mengajukan nota keberatan (Pasal 7), serta telah terjadi kesepakatan damai sebelum atau selama persidangan (Pasal 9).

Namun demikian, apabila perkara tersebut merupakan dakwaan tunggal dengan ancaman di atas lima tahun, tetapi para pihak telah berdamai dan korban memaafkan terdakwa, maka muncul pandangan bahwa hakim tetap dapat mempertimbangkan prinsip keadilan restoratif sepanjang perbuatan tidak berdampak luas pada masyarakat umum.

Ruh pembentukan PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tercermin dalam Pasal 3, yang menegaskan tiga tujuan utama, yaitu:

1. Memulihkan korban tindak pidana.

2. Memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan masyarakat.

3. Menghindarkan setiap orang, khususnya anak, dari perampasan kemerdekaan.

Dengan demikian, mekanisme keadilan restoratif tidak dimaksudkan untuk menghapus pertanggungjawaban pidana, melainkan untuk menyeimbangkan antara penegakan hukum dan pemulihan sosial.

Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Walaupun perdamaian telah tercapai, terdakwa tetap dapat dijatuhi pidana. Namun, kesepakatan damai tersebut menjadi pertimbangan penting bagi hakim dalam menentukan jenis dan beratnya hukuman, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun 2024.

Oleh karena itu, apabila dalam persidangan korban dan terdakwa telah sepakat untuk berdamai, hakim sebaiknya bersikap bijaksana dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, khususnya jika tindak pidana yang terjadi hanya berdampak pada korban secara langsung.

Pendekatan ini sejalan dengan arah pembaruan sistem pemidanaan Indonesia yang menekankan keseimbangan antara pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan kepentingan masyarakat melalui prinsip keadilan restoratif.

Editor : Tim BacaHukum

Sumber: dikutip dari MARINews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top