Tantangan Penanganan Perkara Pidana Anak Pasca Berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

BacaHukum.com – Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sistem hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia mengalami banyak perkembangan. Undang-undang ini sekaligus menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinyatakan tidak berlaku lagi.

Namun, meski regulasi baru telah memberikan arah dan semangat baru terhadap perlindungan anak, dalam praktiknya masih ditemukan sejumlah kendala dalam penanganan perkara anak di berbagai daerah.

Dalam ketentuan SPPA, anak dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban, dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berumur antara 12 hingga 18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana.

Sementara anak korban adalah anak berusia di bawah 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana. Sedangkan anak saksi merupakan anak yang dapat memberikan keterangan dalam proses hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

Keterbatasan Pembimbing Kemasyarakatan

Salah satu persoalan utama dalam pelaksanaan SPPA adalah masih minimnya jumlah Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di berbagai daerah.

Padahal, peran PK sangat penting dalam sistem peradilan pidana anak karena bertugas melakukan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa kabupaten, jumlah tenaga PK sangat terbatas. Bahkan dalam satu balai pemasyarakatan, seorang PK kerap harus menangani beberapa wilayah sekaligus, sehingga proses pendampingan tidak maksimal.

Selain kekurangan PK, jumlah pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial juga masih belum memadai. Padahal, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan dan penanganan masalah sosial anak, termasuk memberikan bimbingan, pendampingan, perlindungan, serta advokasi sosial.

Keterbatasan tenaga profesional di bidang ini menyebabkan banyak anak tidak mendapatkan pendampingan yang layak, terutama di daerah terpencil.

 Keterbatasan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)

Masalah lain yang dihadapi adalah belum meratanya ketersediaan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). LPAS berfungsi sebagai tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung. Namun, di banyak kabupaten lembaga ini belum tersedia, dan umumnya hanya terdapat di kota-kota besar.

Akibatnya, anak-anak yang sedang menjalani proses hukum masih sering ditempatkan di rumah tahanan umum meskipun dipisahkan dari tahanan dewasa. Kondisi ini tetap menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan mental dan psikologis anak.

Minimnya Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)

Selain LPAS, keberadaan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) juga masih sangat terbatas. LPKS merupakan lembaga yang bertugas memberikan pelayanan sosial dan rehabilitasi bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun, karena jumlahnya yang sedikit, banyak daerah belum dapat memberikan pelayanan optimal sesuai dengan amanat undang-undang.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pendukung.

Pemerintah diharapkan dapat segera memenuhi kewajiban yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dengan memperkuat ketersediaan tenaga profesional serta membangun fasilitas yang memadai di setiap daerah.

Langkah ini penting agar penanganan perkara anak benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak serta mencerminkan keadilan yang berkeadaban.

Editor: Tim BacaHukum

Sumber: dikutip dari MARINews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top