KPK Sebut 51 Persen Kasus Korupsi Berasal dari Daerah, Pimpinan Daerah Diminta Tegakkan Integritas

BacaHukum.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa praktik suap dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan pemerintah daerah masih mendominasi perkara korupsi yang ditangani lembaga antirasuah tersebut. Berdasarkan data KPK, sebanyak 51 persen dari total kasus korupsi yang diproses melibatkan pejabat daerah, baik dari unsur eksekutif maupun legislatif.

Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menyampaikan hal itu saat memberikan materi dalam Kursus Pemantapan Pimpinan Daerah (KPPD) Gelombang II Tahun 2025 bertema “Penguatan Integritas untuk Mengikis Perilaku Koruptif dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah” di Gedung Trigatra, Lemhannas, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

“Dari seluruh perkara yang kami tangani, 51 persen berasal dari lingkungan pemerintah daerah, baik kepala daerah maupun anggota legislatif daerah,” ujar Fitroh di hadapan 25 bupati dan wali kota peserta kursus.

Biaya Politik Jadi Akar Korupsi Daerah

Fitroh mengungkapkan bahwa dari total 1.666 kasus yang telah ditangani KPK, sebanyak 854 di antaranya melibatkan pejabat daerah. Menurutnya, fenomena ini tidak terlepas dari mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

“Banyak kandidat kepala daerah terjebak dalam lingkaran pemodal yang menuntut imbal balik setelah pemilihan. Bentuknya bisa berupa proyek atau kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu. Inilah akar dari banyak kasus korupsi di daerah,” jelasnya.

Fitroh menegaskan bahwa korupsi tidak semata-mata terjadi karena lemahnya sistem, melainkan karena adanya niat dan pembenaran moral yang salah. “Korupsi selalu dimulai dari niat jahat, walau sering dibungkus alasan kebutuhan politik atau budaya permisif,” katanya.

Dorongan Perkuat Integritas dan Pengawasan

Dalam paparannya, Fitroh menekankan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari kesadaran pribadi dan komitmen moral setiap pejabat publik. Ia menilai integritas dan transparansi menjadi kunci utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat sistem pengawasan internal serta memanfaatkan teknologi digital dalam pengelolaan anggaran. “Gunakan instrumen seperti e-planning, e -procurement, dan e-audit agar proses pemerintahan lebih transparan dan akuntabel,” ujar Fitroh.

Selain itu, ia mengingatkan agar setiap keputusan yang diambil pemimpin daerah didasari kebijaksanaan. “Puncak kualitas seorang pemimpin bukan pada kekuasaan, tapi pada kebijaksanaan dalam bertindak,” tambahnya.

Prinsip Kepemimpinan “GATOTKACA MESRA”

Untuk memperkuat nilai-nilai kepemimpinan berintegritas, Fitroh memperkenalkan konsep “GATOTKACA MESRA” sebagai panduan moral bagi para kepala daerah. Prinsip ini merupakan akronim dari gerak cepat, totalitas, kreatif, adaptif, cerdas, amanah, melayani, empati, sepenuh hati, ramah, dan antusias.

“Layani masyarakat dengan empati dan kerendahan hati. Jangan sombong, jangan pula takut dengan KPK selama tidak bermain kotor, tak ada yang perlu dikhawatirkan,” tegasnya disambut tawa ringan peserta.

Selain prinsip GATOTKACA MESRA, Fitroh juga memperkenalkan lima nilai utama yang dirangkum dalam piramida “IDOLA”, yakni integritas, dedikasi, objektif, loyal, dan adil. Nilai-nilai tersebut, katanya, menjadi fondasi moral yang harus dipegang setiap pemimpin dalam menjalankan amanah publik.

“Jika setiap pemimpin memiliki nilai IDOLA, maka tata kelola pemerintahan akan berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.

KPK menilai pemberantasan korupsi tidak cukup hanya melalui penindakan, tetapi juga dengan memperkuat sistem pencegahan dan pendidikan antikorupsi, khususnya di daerah. Melalui program seperti KPPD, KPK berharap lahir pemimpin daerah yang berani menolak suap, transparan dalam anggaran, serta konsisten menjalankan nilai integritas di setiap kebijakan publik.

Editor: Tim BacaHukum

Sumber: dikutip dari KPK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top