BacaHukum.com – Dalam kasus korupsi di Indonesia, para pelaku kerap menggunakan kode atau sandi rahasia untuk menyamarkan transaksi suap maupun kegiatan ilegal lainnya. Kode tersebut bisa berupa istilah sehari-hari, simbol, hingga nama unik yang terdengar nyeleneh.
Penggunaan kode ini biasanya disisipkan dalam percakapan langsung saat membahas proyek atau pembagian fee, dengan tujuan menyamarkan maksud sebenarnya dan menghindari pengawasan aparat penegak hukum.
Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dua kode dalam kasus korupsi proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau. Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka.
Salah satu kode yang digunakan adalah “jatah preman”. Kode ini muncul ketika Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan alias MAS, yang mewakili Abdul Wahid, meminta fee sebesar 5 persen atau sekitar Rp7 miliar kepada bawahannya.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).
Pertemuan Rahasia Bahas Fee Proyek
Johanis menjelaskan, pada Mei 2025 sempat terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau, Ferry Yunanda (FRY), dengan enam kepala UPT wilayah I–VI. Pertemuan itu membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diserahkan kepada Gubernur Abdul Wahid.
Semula besaran fee ditetapkan 2,5 persen. Angka itu diambil dari tambahan anggaran tahun 2025 yang meningkat dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Namun, setelah hasil pertemuan dilaporkan kepada MAS, besaran fee diminta naik menjadi 5 persen atau setara Rp7 miliar.
Kode “7 Batang” Jadi Sandi Kedua
Selain “jatah preman”, KPK juga menemukan sandi lain yaitu “7 batang”. Kode ini digunakan ketika para pejabat Dinas PUPR PKPP menyepakati besaran fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid.
“Seluruh kepala UPT beserta sekretaris dinas melakukan pertemuan kembali dan menyepakati fee untuk saudara AW sebesar 5 persen atau Rp7 miliar. Hasil pertemuan tersebut dilaporkan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” lanjut Johanis.
Kode-Kode Korupsi Lain yang Pernah Terungkap
Fenomena penggunaan sandi dalam praktik korupsi bukan hal baru. KPK sebelumnya juga pernah mengungkap sejumlah kode rahasia dalam berbagai kasus korupsi di tanah air.
1. Kasus Pungli Rutan KPK: “Banjir”, “Kandang Burung”, “Pakan Jagung”, dan “Botol”
Dalam kasus pungutan liar di Rutan Cabang KPK selama 2019–2023, KPK menemukan sejumlah kode unik seperti “banjir” untuk info sidak, “kandang burung” dan “pakan jagung” untuk transaksi uang, serta “botol” sebagai istilah untuk ponsel dan uang tunai.
Nilai pungli dalam kasus ini mencapai Rp6,3 miliar, dengan 15 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Kepala Rutan KPK Ahmad Fauzi.
2. Kode “Cempaka” di Kasus Korupsi Cianjur
Dalam kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Cianjur, pelaku menggunakan sandi “Cempaka” untuk merujuk pada Bupati Irvan Rivano Muchtar. KPK menilai sandi tersebut dipakai untuk menyamarkan identitas saat komunikasi terkait aliran dana korupsi.
3. Kode “Pokir” di Kasus Korupsi APBD Malang
Kode “Pokir” atau “pokok pikiran” ditemukan dalam kasus suap pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun 2015. Istilah itu menjadi simbol permintaan uang untuk memperlancar pembahasan anggaran. Ketua DPRD Malang 2014–2018, Mochamad Arief Wicaksono, ditetapkan sebagai tersangka dan diduga menerima suap hingga Rp700 juta.
4. Kode “Santri” dan “Anak Jin” di Kasus Suap Alquran
Dalam kasus pengadaan Alquran dan laboratorium komputer di Kementerian Agama tahun 2011–2012, muncul kode “Santri” dan “Anak Jin”. “Santri” mengacu pada terdakwa Fahd El Fouz, sementara “Anak Jin” digunakan untuk menyebut pihak lain yang terlibat dalam komunikasi proyek. Fahd El Fouz akhirnya divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tipikor.
Fenomena Kode Korupsi yang Terus Berulang
Berulangnya penggunaan kode atau sandi rahasia dalam kasus korupsi menunjukkan bagaimana pelaku berupaya mengelabui aparat hukum. Meski begitu, perkembangan teknologi dan kemampuan penelusuran KPK membuat praktik penyamaran semacam ini semakin sulit dilakukan.
KPK menegaskan bahwa setiap bentuk komunikasi terselubung yang mengarah pada tindak korupsi tetap dapat dijerat hukum apabila terbukti sebagai bagian dari upaya suap atau gratifikasi.
Editor: Tim BacaHukum
Sumber: dikutip dari LIPUTAN6
