Penambangan Emas Ilegal di Merangin, Jambi: Antara Petaka dan Berkah

BacaHukum.com, Jambi – Sejumlah ekskavator tampak beroperasi di pinggir Sungai Manau dan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi, untuk menambang emas tanpa izin (PETI). Aktivitas ini berlangsung bebas meski di lokasi terlihat pengguna jalan.

Penambangan emas di Merangin bukan hal baru. Awalnya dilakukan secara tradisional dengan mendulang (ngerai), namun sejak 2010, alat berat mulai masuk dan masyarakat setempat bekerja sebagai operator. Sejak 2013, warga membeli atau menyewa ekskavator untuk menambang emas, berharap keuntungan besar.

Seorang mantan penambang, Hendra (50), menuturkan, “Besar emas yang didapat [setara] satu piring makan. Untung bersih sekitar Rp400 juta.” Namun, keuntungan tidak selalu ada; pada 2018, Hendra merugi hampir Rp100 juta dan akhirnya menjual alat beratnya.

Penegakan Hukum Terkendala

Polres Merangin mengakui kesulitan menindak PETI karena masyarakat kerap menghadang aparat. Pada 2022, 10 polisi sempat “disandera” setelah menangkap 15 penambang ilegal di Sungai Manau. Kepolisian menyatakan masih ada dukungan masyarakat terhadap PETI, sehingga razia berisiko bentrok.

Sejak Januari hingga awal Oktober 2025, Polres Merangin menangani lima kasus PETI dengan 10 tersangka. Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polres Merangin, Ipda Boby, menekankan kendala lapangan karena masyarakat mendukung penambangan ilegal.

LSM LTB menuding ada pihak yang membekingi penambang, termasuk pemasok BBM dan pemodal. Direktur LTB, Hardi Yuda, menekankan pemerintah harus menindak bukan hanya penambang, tapi juga rantai pasok ilegal.

Gubernur Jambi, Al Haris, dan Bupati Merangin, M. Syukur, telah meminta aparat bertindak dan meluncurkan surat edaran untuk pengawasan oleh kepala desa dan camat. Kapolres Merangin menegaskan akan menindak anggota polisi yang terlibat PETI.

1. Pencemaran Sungai: Indeks kualitas air menurun dari 53,3 (2022) menjadi 36,6 poin (2024), terutama akibat merkuri. Merkuri berbahaya bagi kesehatan, bisa merusak ginjal dan saraf, serta mempengaruhi janin.

2. Turunnya Wisata: Aliran sungai keruh mengurangi pengunjung ekowisata, termasuk Air Terjun Muara Karing di Geopark Merangin. UNESCO bisa mencabut status Global Geopark jika kerusakan berlanjut.

3. Kerusakan Hutan: Hutan Desa Bukit Gajah Berani seluas 2.278 hektare dirusak PETI sejak 2016. Lembaga Pengelola Hutan Desa melaporkan aktivitas ilegal ke Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

4. Korban Jiwa: Sejak 2016, puluhan penambang tewas karena longsor di lokasi PETI.

Ketergantungan Ekonomi Warga

Bagi warga Sungai Manau, penambangan emas ilegal menjadi sumber utama pendapatan, melebihi hasil pertanian dan karet. Redi (30), warga setempat, menilai pemerintah belum menyediakan alternatif ekonomi yang layak.

Hendra menilai penambangan emas “sama dengan berjudi” kadang untung besar, kadang rugi. Namun, banyak warga tetap melakukannya karena tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup.

Para penambang emas di Jambi menyadari bahwa aktivitas mereka merusak lingkungan, tetapi tak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menghentikan penambangan tanpa solusi justru bisa memicu masalah sosial dan kriminalitas.

Sejarah Penambangan Emas di Jambi

Penambangan emas di Pulau Sumatra, termasuk Jambi, sudah ada sejak awal Masehi. Pulau ini dikenal sebagai Swarna Dwipa atau Pulau Emas pada abad ke-7 Masehi. Emas menjadi komoditas penting, baik untuk perdagangan maupun pembuatan arca berlapis emas, seperti arca Awalokiteswara di Situs Rantau Kapas Tuo, Batang Hari.

Pada masa kolonial Belanda, fokus ekonomi di Jambi lebih pada perkebunan karet dan pertanian, sementara penambangan emas dilakukan secara tradisional. Zulkifli (65), tokoh masyarakat Pangkalan Jambu, menyebut emas kala itu tak sebanding harganya dengan beras, sehingga masyarakat lebih memilih berkebun.

Sekitar 1997, harga karet merosot dan harga emas naik drastis. Masyarakat, termasuk Zulkifli, beralih ke penambangan emas untuk menyambung hidup. Aktivitas ini berisiko tinggi; pada 2016, 11 orang meninggal akibat longsor di lubang jarum, namun Zulkifli baru berhenti menambang pada 2021 karena faktor usia.

Zulkifli pernah mencoba menanam kulit kayu manis, tetapi harga jatuh menjadi Rp3.000 per kilogram. Larangan membakar lahan membuat masyarakat sulit memperluas sawah dan perkebunan, sehingga penambangan emas ilegal tetap menjadi pilihan utama.

Pemerintah Jambi mendorong WPR sebagai solusi penambangan ilegal. Empat blok WPR sedang disiapkan di Kecamatan Tiang Pumpung dan Muara Siau. Gubernur Al Haris menyebut, WPR menjadi pilot project nasional dengan aturan ketat agar masyarakat menambang tanpa merusak lingkungan.

Namun, Direktur LTB Hardi Yuda menilai WPR bisa menjadi “solusi palsu”. Ia khawatir pemodal memanfaatkan WPR, sementara masyarakat lokal hanya menjadi pekerja. Yuda menyarankan pengembangan ekonomi ramah lingkungan, memanfaatkan potensi geowisata, pertanian, dan perkebunan kopi secara berkelanjutan.

Editor : Tim BacaHukum

Sumber : dikutip dari BBC NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top