BacaHukum.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menyoroti bahaya besar perjudian online (judol) yang dinilai tak hanya menghancurkan ekonomi pribadi, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan hukum yang luas.
Menurut Yusril, praktik judol telah menjebak ribuan warga, termasuk penerima bantuan sosial (bansos) dan beasiswa pemerintah. Banyak di antara mereka yang akhirnya terjerumus dalam tindak kriminal akibat terlilit kekalahan dan utang.
“Judi online ini luar biasa dampaknya. Tidak hanya merusak individu, tapi juga menghancurkan keluarga dan moral bangsa,” ujar Yusril di Kantor PPATK, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).
Dana Bansos untuk Judi Online
Yusril mengungkapkan, data terbaru yang diterimanya dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa lebih dari 600.000 penerima bantuan sosial diketahui menggunakan dana bansos untuk bermain judi online. Jumlah tersebut juga mencakup penerima beasiswa dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
“Kementerian Sosial juga sudah tahu, berkat kerja sama dengan PPATK. Lebih dari 600 ribu penerima bantuan sosial menjadikan dana bantuan itu sebagai modal untuk berjudi online,” katanya.
Temuan Kementerian Sosial
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul membenarkan temuan tersebut. Ia menyebut, pada semester pertama tahun 2025, sebanyak 78.000 penerima bansos terindikasi aktif bermain judi online.
“Pada triwulan pertama saja, ada 78.000 penerima bantuan sosial yang diduga bermain judi online,” ujar Gus Ipul di Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Analisis transaksi keuangan PPATK pada semester I 2025 juga mencatat 132.557 penerima bansos pernah bertransaksi terkait judi online, dengan nilai deposit mencapai Rp542,5 miliar dari total 3,7 juta transaksi.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menuturkan bahwa sebagian besar pemain judi online merupakan masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
“Para pelakunya mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka tetap bermain meskipun kondisi ekonomi sulit,” kata Ivan.
Ia menambahkan, pihaknya berhasil menekan perputaran uang judi online di Indonesia dari Rp359 triliun pada 2024 menjadi Rp155 triliun hingga Oktober 2025. Nilai deposit para pemain juga turun dari Rp51 triliun menjadi Rp24 triliun.
Pemberantasan Judi Online Harus Dihubungkan dengan TPPU
Menurut Yusril, pemberantasan judi online tidak bisa hanya mengandalkan pasal-pasal perjudian dalam KUHP. Ia menilai, pendekatan hukum yang efektif adalah dengan mengaitkannya pada Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
“Kalau hanya memakai pasal perjudian, tidak akan mampu memberantasnya. Tapi kalau dikaitkan dengan TPPU, dampaknya luar biasa,” tegas Yusril.
Melalui UU TPPU, negara dapat menelusuri dan membekukan rekening mencurigakan. Jika dalam 20 hari pemilik rekening tidak melakukan klarifikasi, PPATK berhak menyerahkan kasus kepada aparat penegak hukum. Bila dalam 30 hari tidak ada pengakuan, pengadilan dapat memutuskan perampasan aset dan menjadikannya milik negara.
“Sebaliknya, jika pemilik bisa membuktikan uangnya bukan hasil kejahatan, maka rekening bisa dikembalikan. Prinsipnya, mekanisme TPPU sudah mendekati konsep perampasan aset yang kini sedang diwacanakan,” jelas Yusril.
Yusril juga menegaskan, penangkapan terhadap bandar judi tidak serta-merta akan memberantas praktik perjudian daring di Indonesia.
“Kalau hanya menangkap bandarnya saja, itu tidak akan menuntaskan masalah. Yang harus dibenahi adalah sistem keuangan dan aliran uang hasil judi tersebut,” ujarnya.
Fenomena judi online di kalangan penerima bansos dan masyarakat berpenghasilan rendah menunjukkan ironi sosial yang serius. Di tengah krisis ekonomi, dana bantuan pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok justru terbuang sia-sia di dunia maya.
Editor : Tim BacaHukum
Sumber : dikutip dari KOMPAS.com
