BacaHukum.com, Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh resmi menyerahkan RUU Ketenagakerjaan versi buruh ke DPR. RUU ini disusun sebagai bentuk alternatif terhadap regulasi ketenagakerjaan yang dinilai lebih berpihak pada pengusaha.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menjelaskan bahwa salah satu poin utama dalam RUU tersebut adalah pelarangan sistem outsourcing dan pemagangan bagi lulusan sarjana.
“Pemagangan itu untuk anak sekolah, bukan sarjana yang bekerja penuh waktu dengan upah murah. Begitu juga outsourcing, yang seharusnya dibatasi jenis pekerjaannya malah dilebarkan ke semua sektor. Itu bentuk akal-akalan hukum,” ujar Said, (14/10/2025).
Tolak Sistem Outsourcing
Dalam draf RUU tersebut, buruh juga menolak bentuk hubungan kerja semu, seperti sistem kemitraan yang digunakan perusahaan digital platform, misalnya Gojek dan Grab.
“Dilarang pekerja alih daya melalui agen, dilarang pekerja outsourcing berkedok pemagangan, dan dilarang pekerja dengan status mitra,” tegas Said.
Ia menambahkan, RUU ini memperluas definisi pekerja agar mencakup berbagai profesi modern mulai dari pekerja digital platform, dosen dan guru honorer, tenaga medis, pekerja media, konten kreator, hingga pekerja seni.
“Dosen, guru honorer, pekerja media, bahkan artis dan konten kreator, mereka semua berkontribusi besar tapi tidak dilindungi. Ini harus diubah,” ujarnya.
Meski demikian, Said memastikan bahwa RUU versi buruh tetap memberikan ruang fleksibilitas bagi pelaku UMKM, terutama dalam hal pengupahan.
“UMKM tetap bisa menyesuaikan, tapi jangan dijadikan alasan untuk menindas. Klinik kecil beda dengan rumah sakit besar,” jelasnya.
PHK Harus Dapat Izin dan Upah Proses Tetap Berlaku
Dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK), RUU ini mengembalikan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964, yakni pengusaha wajib memperoleh izin dari lembaga hubungan industrial sebelum melakukan PHK.
“Selama belum ada izin, upah tetap dibayar. Ini yang disebut upah proses. Kalau sekarang buruh dipecat langsung berhenti gajinya, BPJS-nya diputus. Negara harus hadir melindungi,” tegas Said.
Untuk menjamin hak pekerja, KSPI mengusulkan jaminan cadangan pesangon berdasarkan standar PSAK 24, di mana perusahaan wajib menyisihkan dana khusus di bank pemerintah atau BPJS.
“Supaya kalau perusahaan kabur, hak buruh tidak hilang. Ini bukan mimpi, di Jerman dan Tiongkok sistem seperti ini sudah jalan,” ujarnya.
Aturan Pengupahan dan Kenaikan Berkala
Dalam sistem pengupahan, RUU versi buruh memuat mekanisme kenaikan upah sektoral dan berkala. Indeks kenaikan upah dikunci minimal setara dengan tingkat inflasi.
“Upah sektoral 5 persen lebih tinggi dari upah minimum provinsi, dan ada sistem upah berkala bagi pekerja yang sudah bekerja lebih dari satu tahun,” terang Said.
Pembatasan Tenaga Kerja Asing
RUU ini juga mengatur pembatasan ketat terhadap tenaga kerja asing (TKA). Hanya tenaga ahli (skilled workers) yang boleh bekerja di Indonesia, dengan masa kerja maksimal tiga tahun dan wajib mendampingi tiga pekerja lokal untuk transfer of skill.
“Setelah tiga tahun, pekerja lokal harus bisa menggantikan. Dan gaji TKA dengan pekerja lokal di posisi yang sama harus setara,” ujarnya.
Selain itu, TKA diwajibkan menguasai bahasa Indonesia agar tidak menimbulkan gesekan budaya di lingkungan kerja.
Perlindungan bagi Pekerja Perempuan
RUU versi buruh ini juga memberi perlindungan bagi pekerja perempuan, terutama yang sedang hamil atau baru melahirkan. Perusahaan dilarang memindahkan atau memecat pekerja dengan alasan tersebut, dan pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana.
Said menegaskan, semangat penyusunan RUU Ketenagakerjaan versi buruh adalah menegakkan nilai keadilan sosial dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Editor : Tim Bacahukum
Sumber : dikutip dari detikfinance