BacaHukum.com, Riau – Fenomena perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum menyerahkan lahan plasma kepada masyarakat lokal kembali mencuat di Riau. Kali ini, ribuan warga dari Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, melakukan aksi penyegelan akses jalan menuju kebun sawit milik PT Pria Tama Riau.
Warga dari tiga wilayah-Desa Darul Aman, Kelurahan Tanjung Kapal, dan Kelurahan Batu Panjang-turun langsung ke lapangan untuk menyuarakan tuntutan yang mereka anggap telah lama diabaikan perusahaan.
Pengamat: Hampir Semua Perusahaan Sawit di Riau Abai soal Plasma
Pengamat Lingkungan Hidup Riau, Dr Elviriady, menilai persoalan ini bukanlah hal baru. Ia menyebut, sebagian besar perusahaan sawit di Riau cenderung tidak mematuhi kewajiban untuk membagikan kebun plasma kepada masyarakat setempat.
“Bisa dikatakan, hampir semua perusahaan perkebunan sawit di Riau melakukan hal ini. Mereka enggan memberikan lahan plasma kepada masyarakat. Padahal mereka para pemilik perusahaan itu, sudah kaya raya dengan membuka kebun sawit hingga ribuan hektar di Riau,” ujar Elviriady, Jumat (26/9/2025).
Menurutnya, pemberian lahan plasma seharusnya tidak lagi menjadi opsi, melainkan kewajiban yang telah diatur secara tegas dalam perundang-undangan.
“Padahal, pemberian lahan plasma kepada masyarakat itu sudah diatur dalam undang-undang dan harus dipenuhi oleh perusahaan. Ini kewajiban, bukan pilihan. Tapi ya bisa dilihat sendiri, hampir semua perusahaan kebun sawit di Riau tampak abai saja,” katanya menegaskan.
Kolanialisme Gaya Baru di Sektor Perkebunan
Elviriady menyoroti bahwa kondisi ini mencerminkan adanya bentuk “kolonialisme modern” dalam penguasaan lahan oleh korporasi besar di sektor perkebunan. Masyarakat lokal, katanya, semakin sulit membangun kebun sendiri karena hampir seluruh kawasan telah dikuasai oleh perusahaan besar.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa kolonialisme pada sektor perkebunan di Riau sudah semakin merajalela,” tegasnya.
Ia juga menyebut, lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah menjadi salah satu penyebab masalah ini terus berulang. Masyarakat sudah menempuh jalur formal, namun respons dari pemerintah dan perusahaan nyaris tak pernah memuaskan.
Aksi Warga Dianggap Wajar, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas
Melihat kondisi tersebut, Elviriady menilai wajar bila masyarakat akhirnya mengambil langkah yang lebih keras untuk menuntut haknya. Terlebih, pendekatan persuasif selama ini kerap tidak ditanggapi.
“Karena bila dilakukan secara baik-baik cenderung tidak akan ditanggapi. Baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Namun sayangnya, hal ini juga seolah jadi pengakuan, kalau mau menuntut hak, masyarakat harus melakukannya dengan sedikit ‘keras’. Kalau tidak demikian, perjuangan mereka tidak akan membuahkan hasil. Seolah-olah hukum baru berlaku kalau masyarakat sudah emosi,” ucapnya.
Ia pun menegaskan, bahwa penyelesaian persoalan ini tetap berada di tangan pemerintah.
“Pemerintah melalui instansi terkait harus tegas dalam menegakkan peraturan yang ada. Kalau ada perusahaan yang terbukti melanggar, ya jatuhkan sanksi. Sejak dahulu, permasalahan seperti ini sering terjadi dan berulang-ulang. Lantas, untuk apa aturan hukum dibuat?” tutup Elviriady.
Editor : BacaHukum.com
Sumber : Dikutip dari GoRiau