PP 45 Tahun 2025 Dinilai Ancam Kelangsungan Industri Sawit Nasional

BacaHukum.com, Jakarta – Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2021 terkait tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan pada 19 September 2025. Regulasi ini diharapkan menjadi solusi atas jutaan hektare perkebunan sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin.

Melalui mekanisme denda, usaha yang telah berjalan diharapkan dapat memperoleh kepastian hukum. Namun, kebijakan ini justru dinilai membuka babak baru ketidakpastian yang bisa mengancam keberlangsungan industri sawit nasional.

Legalitas Lahan Sawit Dinilai Bom Waktu Lama

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin, menyatakan bahwa persoalan legalitas lahan sawit merupakan bom waktu yang telah diwariskan sejak era deregulasi pada dekade 1990-an. Pada masa itu, izin lokasi dan HGU kerap tumpang tindih dengan kawasan hutan yang belum selesai proses pengukuhannya.

“Seharusnya PP 45/2025 menata masalah ini secara adil. Tapi yang ditempuh justru jalan pintas yang mengorbankan kepastian usaha dan hak agraria,” ujar Zainal, dalam keterangan resmi InfoSAWIT, Minggu (28/9/2025).

Pergeseran Filosofi Penegakan Hukum

Zainal menilai adanya pergeseran mendasar dalam filosofi hukum yang diterapkan. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sebenarnya telah menekankan penyelesaian keterlanjuran lahan dengan pendekatan denda administratif, bukan pidana.

Ia menyebut bahwa prinsip yang digunakan adalah ultimum remedium. Namun, dalam Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 35A PP 45/2025, pemerintah memperkenalkan mekanisme baru berupa “penguasaan kembali” atas lahan.

“Setelah denda dibayar, lahan tidak otomatis dilegalkan, melainkan diambil alih negara dan diserahkan kepada BUMN. Ini jelas bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Denda Tetap Dianggap Timbulkan Ketimpangan

Persoalan lain muncul dalam hal penetapan tarif denda. Zainal menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja sebenarnya mengamanatkan agar tarif denda dihitung berdasarkan persentase keuntungan, sehingga lebih adil dan proporsional. Namun dalam PP 45/2025, tarif tetap ditetapkan sebesar Rp25 juta per hektare per tahun.

Akibatnya, nilai denda bisa melonjak tajam. Zainal mencontohkan, dalam kasus tertentu, denda yang seharusnya sekitar Rp500 miliar dapat berubah menjadi Rp2,5 triliun.

“Perubahan ini bukan saja menghapus keadilan, tetapi juga menimbulkan disparitas ekstrem,” kata Zainal.

Zainal juga menyoroti data yang digunakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sebagai dasar penetapan denda. Ia menyebut ada perusahaan yang baru menanam tiga hektare, tetapi dipaksa membayar denda atas lahan seluas 8.700 hektare karena perhitungan dilakukan berdasarkan data izin lokasi, bukan kebun riil.

Ia juga menilai aspek kelembagaan dalam PP ini bermasalah. Menurutnya, UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan menyebut bahwa kewenangan utama berada di tangan Menteri Kehutanan. Namun, PP 45/2025 justru memperkuat kewenangan Satgas PKH yang bersifat ad hoc.

“Satgas kini punya kewenangan verifikasi, rekomendasi, hingga eksekusi penguasaan kembali. Padahal lembaga ini tidak dikenal dalam UU. Praktis, ia menjelma pemerintahan bayangan,” ujar Zainal.

Zainal memperingatkan bahwa dampak terberat dari penerapan aturan ini akan terasa pada aspek hak atas tanah. Menurutnya, UUPA menegaskan bahwa HGU hanya bisa dicabut untuk kepentingan umum dan harus disertai ganti rugi.

Namun melalui mekanisme penguasaan kembali yang diatur dalam PP 45/2025, HGU bisa hilang hanya karena berada di kawasan hutan tahap penunjukan. Ia menilai hal ini akan membuat lembaga keuangan enggan menyalurkan kredit kepada sektor sawit karena status hukumnya tidak pasti.

Resiko Sengketa, Krisis CPO, dan Gelombang Gugatan

Zainal juga memprediksi adanya peningkatan signifikan pada jumlah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia menyebut bahwa sengketa agraria di lapangan berpotensi meningkat, dan sektor ekonomi bisa terguncang karena ancaman krisis pasokan CPO.

Jika lahan produktif dialihkan kepada BUMN yang belum tentu efisien, produksi sawit nasional dinilai bisa mengalami penurunan. Padahal, lebih dari separuh minyak sawit dunia yang bersertifikat RSPO berasal dari Indonesia.

Hingga September 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali 3,3 juta hektare lahan. Dengan estimasi denda sebesar Rp250 juta per hektare, maka total kewajiban yang harus ditanggung perusahaan sawit mencapai Rp831 triliun.

Zainal menilai beban ini sangat mungkin melumpuhkan perusahaan sawit dan berimbas langsung pada 16,5 juta pekerja yang menggantungkan hidup di sektor tersebut.

Regulasi Baru Dinilai Berpotensi Alih Fungsi Terselubung

Zainal menyebut bahwa PP 45/2025 tidak lagi menjadi alat penertiban, melainkan dipersepsikan sebagai instrumen pengambilalihan terselubung oleh negara. Ia menilai regulasi ini telah bergeser dari semangat legalisasi menjadi nasionalisasi lahan, memperkuat lembaga ad hoc, menerapkan tarif denda yang mencekik, dan melemahkan asas kepastian hukum.

“Jika tidak segera dikoreksi, PP 45/2025 bisa menjadi titik awal krisis besar sawit Indonesia-krisis legalitas, finansial, dan sosial,” tegas Zainal.

Di tengah tekanan global melalui isu lingkungan dan kampanye boikot, Zainal menilai bahwa industri sawit Indonesia justru kian terjepit oleh regulasi domestik yang kontradiktif. Ia menyebut potret suram industri sawit nasional kini semakin nyata.

Editor : Tim BacaHukum

Sumber : dikutip dari InfoSAWIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top