Pemerintah Atur Blokir Rekening Masyarakat: Hak Warga dan Kepastian Hukum Terancam?

BacaHukum.com, Jambi – Rencana pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening dormant patut dikritisi secara serius. Langkah yang diklaim sebagai upaya menekan kejahatan keuangan seperti judi online dan pencucian uang justru berpotensi melanggar hak konstitusional dan Hak Asasi Manusia warga negara, khususnya hak atas kepemilikan harta benda yang sah.

Tidak semua rekening pasif atau tidak aktif dalam periode tertentu terkait tindak pidana. Dalam realitas sosial-ekonomi Indonesia, jutaan masyarakat menggunakan rekening bank sekadar untuk menyimpan tabungan hasil kerja musiman. Petani, nelayan, buruh harian, mahasiswa, hingga pelaku UMKM kerap hanya melakukan satu-dua transaksi dalam setahun. Logiskah rekening mereka diperlakukan setara dengan rekening pelaku kejahatan?

Pemblokiran rekening tanpa aktivitas tanpa dasar hukum tegas dan proses klarifikasi kepada pemilik, pada esensinya mencabut hak seseorang mengakses dan mengelola hartanya. Hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan hak milik dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menegaskan: setiap orang berhak memiliki harta, dan tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang.

Negara—dalam hal ini PPATK dan otoritas keuangan—seharusnya mengedepankan pendekatan berbasis bukti dan analisis transaksi, bukan sekadar status “tidak aktif”. Terlebih jika pemblokiran dilakukan tanpa mekanisme pemberitahuan atau hak pembelaan yang memadai. Praktik demikian jelas mengancam prinsip due process of law dan asas praduga tak bersaku, fondasi sistem hukum negara demokratis.

Alih-alih memberantas kejahatan, kebijakan ini justru berisiko meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional. Masyarakat mungkin enggan menyimpan uang di bank karena kekhawatiran rekening diblokir sepihak tanpa alasan pertanggungjawaban. Ini bertolak belakang dengan misi inklusi keuangan yang selama ini digaungkan pemerintah.

Jika negara sungguh ingin menekan kejahatan keuangan, yang diperlukan bukan pemblokiran massal, melainkan peningkatan akurasi deteksi transaksi mencurigakan, perbaikan sistem pengawasan digital, serta edukasi publik. Segala pembatasan akses rekening harus berlandaskan proses hukum yang adil, transparan, dan akuntabel—bukan semata karena rekening tidak aktif dalam hitungan bulan.

Hak-hak warga sipil tak boleh dikorbankan demi efisiensi teknokratik yang miskin empati sosial. Negara boleh tegas, tetapi tak boleh semena-mena. Dalam konteks ini, rencana pemblokiran rekening dormant adalah kebijakan prematur, tidak adil, dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum serta perlindungan hak asasi manusia.

Penulis:
Adjie Pramana Sukma, S.H.
Aktivis Hukum & HAM
Editor: Prisal Herpani, S.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top